Cerpen - Nyala yang Padam
Nyala yang Padam
Alhayu
Suara televisi
menyelinap pelan di antara hiruk pikuk suara kendaraan di suatu pemukiman
sempit. Di layar, seorang pria tua berjas rapi berdiri di balik podium berhias
lambang negara, wajahnya kaku namun penuh wibawa.
"Saudara-saudara
sebangsa dan setanah air..."
Kalimat itu
bergema, menggantung di ruang tamu yang pengap, mengisi celah-celah keheningan
dengan nada tegas namun jauh dari meyakinkan. Pria tua itu membuka pidato,
dengan senyum kaku, berdiri optimis sebagai seorang kepala negara yang memiliki
citra ‘memimpin dengan sepenuh hati’.
Pidato itu terus
mengalir—tentang kestabilan, tentang persatuan, tentang masa depan yang cerah.
Tapi di balik semua omon-omon itu, dunia terasa jauh dari kata damai.
"Saudara-saudara..
Saya juga heran ada orang yang mengatakan negara kita ini gelap. Kalau dia
memang merasa gelap, itu hak dia, tapi kalau saya bangun pagi saya lihat negara
kita ini terang-terang saja," katanya. Ntah itu sebuah sikap apatis ataukah hanya kalimat
penenang biasa.
Sejenak kemudian, tawa mencibir terdengar
dari sudut ruangan, “Hah!
Negara ini memang terang... jika dilihat dari atas sana.” Cibiran itu keluar dari
mulut seorang pemuda, matanya menatap layar tapi tak
benar-benar melihat. Tangan kirinya menggenggam cangkir kopi yang hanya
menyisakan ampas.
Ia mengganti
saluran. Namun yang muncul justru deretan berita korupsi—ironi yang terlalu
pedih untuk ditertawakan.
Menghela napas
berat, pemuda itu mematikan televisi dan beranjak mengambil buku berjudul
'Pedoman resmi seleksi tes CPNS paling tokcer!'. Berjam – jam ia mencoba
memahami isi di dalamnya, yang semakin ia baca, semakin ia merasa sia sia.
Pemuda itu
bernama Aksa.
Seorang lelaki
berusia awal dua puluhan. Postur tubuhnya ramping, sedikit bungkuk, mungkin
karena dulunya ia adalah seorang siswa teladan yang tak pernah sekalipun
merosot dari tempatnya di lima besar. Tapi di dunia
nyata, ijazah dan prestasi tak selalu punya harga.
Aksa tumbuh di
keluarga yang awalnya harmonis, akan tetapi kerap berubah seiring waktu. Tepatnya
setelah berbagai kebijakan baru pemerintah yang sedikit banyak berdampak pada
ekonomi, hingga turut menghancurkan keluarganya. Ayahnya berprofesi sebagai PNS
di salah satu instansi daerah. Penghasilannya cukup stabil untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Namun itu dulu. Sebelum sebulan yang lalu nama baiknya ikut terseret
kasus korupsi yang dilakukan oleh atasannya.
Semenjak
kelulusannya, Aksa tak punya banyak pilihan. Duduk di bangku kuliah selalu
menjadi impiannya, yang sayangnya telah lama pupus lantaran ia memprioritaskan masa
depan si bungsu. Bekerja sebagai buruh pabrik pun tak bertahan lama, sebab
seminggu terakhir ia terkena PHK, sebagai imbas kekacauan ekonomi yang kian
menggila.
Demi turut
menyokong ekonomi keluarga, Sang Ibu bekerja banting tulang berjualan gorengan
sambil tetap menggendong si bungsu di pundak rapuhnya. Ibu adalah manusia
paling tegar yang pernah Aksa kenal.
Hingga di suatu
pagi, badai yang amat dahsyat datang tanpa aba-aba.
Matahari belum sepenuhnya
nampak ketika suara ribut-ribut itu mengusik Aksa dari tidurnya. Tak berpikir
panjang, dengan langkah gontai Aksa menuruni tangga, berniat menengok sedikit
ke arah ruang tamu—dan seketika tubuhnya membeku.
Ruang tamu tak lagi layak disebut rumah. Meja dan kursi
terbalik, pecahan barang berserakan di setiap sudut, dan rumah yang biasanya sunyi
kini dipenuhi teriakan kasar para rentenir. Di tengah kekacauan itu,
pemandangan paling memilukan menusuk mata Aksa: ibunya, berlutut di lantai yang
dingin, gemetar ketakutan sambil memeluk erat putri bungsunya yang menangis histeris.
Diskusi—kalau
bisa disebut begitu—berlangsung dengan tensi tinggi. Kata-kata diwarnai
ancaman, permohonan, dan kemarahan yang nyaris meledak. Setelah waktu yang
terasa seperti selamanya, para rentenir itu akhirnya bersedia pergi. Tentu bukan untuk
selamanya, hanya sementara. Tapi cukup untuk membuat napas kembali masuk ke
paru-paru.
Lantas, Aksa
menatap ibunya yang masih terpaku di lantai. Dengan suara parau ia bertanya, “Bu...
apa yang sebenarnya terjadi?”
“Maafkan Ibu nak...
ini semua ulah ayahmu.”
Dengan mata sembab dan suara yang nyaris
tak terdengar, ibu menjelaskan. Tentang ayah mereka, yang ternyata terlilit hutang pinjaman
online setelah kecanduan judi. Tentang telepon yang tak lagi diangkat. Tentang
jejak yang menghilang, seakan lenyap ditelan bumi.
Sejak hari itu, Ibu mulai berubah. Lembutnya menghilang, berganti dengan
tekanan yang makin hari makin menghimpit. Berkali-kali ibunya
menyalahkannya—karena malas, karena pengangguran, karena tak bisa “menjadi
laki-laki yang bisa diandalkan”. Padahal di balik itu semua, Aksa sedang
mengusahakan segalanya. Berulang kali ia mencoba, jatuh, lalu bangkit lagi.
Tapi tak semua perjuangan bisa terlihat dari permukaan.
Meski begitu, di malam-malam yang sepi, ibunya sering kembali rapuh.
Menangis di hadapan Aksa, mengulang-ulang harapan yang sama: "Jangan jadi
seperti ayahmu. Apa pun yang terjadi, jangan pernah jadi seperti dia."
Aksa tak bisa berkutik. Antara ingin marah, dan ingin memeluk ibunya yang
hatinya kini penuh luka.
Hari-hari
berlalu cepat, seakan tak memberi jeda sejenak untuk Aksa.
Namun,
selalu, Aksa mencoba bersikap tegar.
Ia
tahu rumah ini bisa runtuh kapan saja—bukan oleh gempa, lantaran oleh tekanan
hidup yang makin hari makin menyesakkan. Maka ia memusatkan seluruh
perhatiannya pada satu hal: tes CPNS. Satu-satunya pelita yang masih ia genggam
erat, meski dengan tangan gemetar.
Ibu
tahu soal ini, tapi tak banyak bicara. Hanya satu kalimat yang keluar saat Aksa
berpamitan pagi itu, "Doa Ibu selalu menyertaimu."
Kalimat
yang terdengar lembut, tapi entah kenapa terasa begitu jauh.
Aksa
tak ambil pusing. Hari itu ia memilih fokus. Ini waktunya bertarung, untuk
dirinya… dan untuk keluarganya.
Beberapa
minggu berlalu.
Hari-hari
terasa panjang dan gelap, dipenuhi kecemasan yang tumbuh diam-diam. Setiap
malam Aksa bertanya dalam hati: "Berhasilkah aku? Atau akan berakhir
seperti biasanya?"
Menjadi
PNS bukan sekadar pekerjaan baginya. Ini merupakan tiket untuk keluar dari
neraka kecil bernama kenyataan. Ini cara satu-satunya untuk membuktikan, bahwa
ia bukan hanya beban seperti cemoohan rutin yang kerap dilontarkan ibu.
Hari
pengumuman pun tiba.
Dengan
jantung yang berdebar keras dan tangan yang sedikit gemetar, Aksa membuka situs
pengumuman.
Matanya
menyusuri daftar. Lalu tertegun sejenak. Kosong. Namanya tidak ada.
Gagal.
Total.
Seolah
dunia berhenti berputar. Udara sekitarnya mendadak menjadi berat. Kepalanya
kosong, pikirannya berisik. Tidak ada lagi arah, tidak ada lagi tujuan. Harapan
terakhir itu kini tinggal serpihan kecil yang tak bisa disatukan lagi. Malam
itu, Aksa hanya bisa berdiam diri di kamarnya—terkunci dalam gelap, terisak di
bawah selimut, mengutuk segala hal yang tak berjalan sesuai harapan.
Tirai tipis di jendela bergerak pelan
ditiup angin. Cahaya pertama fajar belum benar-benar terang, hanya guratan
samar yang menari-nari di dinding kamar yang pudar warnanya. Di luar, suara
kokokan ayam mulai bersahut-sahutan, mengisi keheningan yang pekat, seolah
ingin membangunkan dunia yang masih tertidur. Tapi bagi Aksa, dunia belum
benar-benar hidup.
Aksa
terbangun. Matanya berat, lehernya kaku. Ia mengerjapkan mata, lantas tatapannya kosong,
seakan masih tersesat di antara mimpi buruk dan kenyataan yang tak kalah
menyakitkan.
"Ah...
sudah seminggu aku seperti ini," gumamnya parau.
Ia
menatap langit-langit kamar yang penuh retakan—seolah mencerminkan isi
kepalanya yang juga tak lagi utuh. Suara-suara bergema di kepalanya, seperti
dengungan samar yang menyesakkan dada.
Pikiran-pikiran
kelam datang dalam gelombang, menghantam tanpa ampun, tanpa memberi jeda untuk
bernapas. Ia tenggelam, tak tahu lagi ke mana harus berenang, atau apakah masih
ada daratan yang bisa ia tuju.
Dengan
pikiran kalut, aksa berjalan menuju balkon kamarnya. Menyibak tirai, mencoba
menemukan jawaban di baliknya. Di balik tirai itu, dunia yang ia kenal, namun
kini tampak asing. Dunia yang kerap bergerak, namun ia terperangkap dalam
keheningan yang menyesakkan.
Lamat-lamat
ia pandangi panorama dari balik balkon itu. Di kejauhan, langit masih muram, biru
gelap dengan semburat jingga yang malu-malu mulai muncul di ufuk timur. Di bawah sana, jalanan masih lengang, hanya dipenuhi oleh
seorang tukang sayur dan segerombol ibu-ibu yang nampak asyik bertukar cerita.
Di sudut lain, pepohonan bergoyang perlahan, diterpa angin sepoi-sepoi yang
membawa kesejukan.
Lama
ia pandangi panorama itu, seakan sedang merekam setiap detik yang ia saksikan.
Dunia tampak begitu terang pagi ini. Sinar matahari mulai menembus
celah-celah dedaunan, memantulkan kilau keemasan yang menari di atas aspal
basah sisa embun semalam.
Angin
pagi berembus lembut, mengibarkan ujung pakaian yang dikenakannya. Aksa
tersenyum simpul, “Benar, tentu saja negara ini Terang. Aku yang gelap.”
Aksa
memejamkan kedua matanya.
Tak
ada air mata. Tak ada suara. Hanya senyuman kecil yang mengambang—senyum yang
bukan karena bahagia, melainkan karena akhirnya ia bisa meredam segala sesuatu
yang kerap bergema.
Ia
menarik napas panjang... untuk terakhir kalinya.
Jemarinya
pucat mencengkeram pagar besi dingin dengan sisa-sisa keberanian yang nyaris
tak tersisa, sebelum akhirnya perlahan jemari itu melepaskannya.
Aksa
menjatuhkan diri dari balkon kamar.
Tubuhnya
melayang, diselimuti sinar mentari yang berwarna keemasan. Dedaunan yang
tertiup angin seakan menari mengiringi kejatuhannya.
Teriakan samar terdengar dari
kejauhan—suara orang-orang yang menjerit histeris.
Lalu—BUM!
Kehangatan
pagi yang menyelimuti dunia tetap tak berubah.
Namun
satu hal yang pasti, bahwa satu jiwa tengah terhempas menuju kehampaan,
meninggalkan dunia yang terus berjalan tanpa henti.
Dan
pagi yang hangat itu… tetap berjalan seperti biasa. Seakan dunia tak sempat
berduka.
Komentar
Posting Komentar