Cerpen - Sulung

 SULUNG

Alhayu




Terlahir sebagai sandwich generation yang kurang mendapatkan perhatian dari orang tua dan segalanya harus dijalani sendiri tidaklah mudah, apalagi dalam hal yang penting ketika menyangkut tentang kehidupan. Misalnya jadi anak pertama, aku tidak punya cara untuk menyempurnakan jalan yang diambil, aku hanya punya satu pilihan dan satu kesempatan untuk melakukannya dengan benar.

Hai, perkenalkan namaku Kiran. Aku adalah yang tertua dari tiga bersaudara, orang – orang memanggilku Si Sulung. Menjadi sulung tidaklah mudah, aku harus selalu menyingkirkan egoku di atas segalanya. Pada dasarnya, aku hanyalah seorang pemuda yang suka mengeluh dan belum cukup dewasa untuk menanggung tanggung jawab yang begitu besar. Namun, mau tak mau aku harus menjalani semuanya.

Semua memburuk sejak kematian bapakku dua bulan lalu. Sebagai seorang sulung, aku tak boleh terlalu lama terpuruk, aku harus bangkit dan mengambil peran bapak. Setiap harinya aku harus bangun mendahului matahari, mengurus kedua adikku sementara ibu sudah meninggalkan rumah untuk bertani. Adikku yang pertama, Kinan yang sekarang berusia 13 tahun aku rasa sudah cukup mengerti tentang kebutuhannya sendiri. Namun aku tak bisa bersantai begitu saja, pasalnya si bungsu yang belum genap setahun ini masih membutuhkan perhatian ekstra. Aku bergegas memandikannya, menyiapkan sarapan, lantas menitipkan si bungsu kepada tetanggaku. Aku masih belum bisa bernapas lega karena aku pun harus cepat cepat bersiap berangkat sekolah atau aku akan terlambat dan pak satpam tak akan membiarkanku masuk seperti tempo hari.

Untungnya aku berhasil datang ke sekolah tepat waktu. Aku berlari menuju kelasku, saat tiba aku langsung terduduk lemas di  bangkuku. Aku mengembuskan napas berat, hari baru dimulai dan rasanya sudah hampir sekarat. “Heh Kiran! Lemes banget, masih pagi loh.” Aku terkejut saat sahabatku satu satunya, Anin menepuk pundakku. “Lembur lagi? Jangan terlalu keras lah sama diri sendiri.” Sambungnya, Anin menatapku dengan tatapan khawatir. “Yaa, mau bagaimana lagi Nin. Adikku mau masuk SMP, sedangkan ibu udah mulai sakit sakitan. Mau bergantung sama siapa lagi?” Jawabku lesu. Anin memang sudah tak heran melihat kondisiku saat ini, ia tahu saat pulang sekolah aku harus bekerja serabutan di pasar untuk membantu ekonomi keluargaku, bahkan tak jarang aku sampai bekerja hingga subuh semata – mata agar mendapat pendapatan lebih. Anin menatapku iba, aku tak suka ditatap seperti itu. “Gapapa kali Nin, udah biasa. Masih kuat ini, kuat!” Aku bergurau menunjukkan lenganku yang padahal kurus itu, berkhayal seakan – akan memiliki sekepal otot. Anin tertawa dan memukulku pelan, ia sebenarnya tak tega melihat sahabatnya harus bekerja mati matian, tapi disisi lain ia juga tak bisa membantu apapun.

Sekolah telah usai, saatnya pulang. Tak ingin membuang waktu, aku bergegas merapikan mejaku. Melihat semua teman – temanku berencana main sepulang sekolah, sementara aku tak bisa seperti mereka. Kadang timbul rasa iri, ingin lari dari tanggung jawab dan hidup dengan caraku. Namun, realita menahanku dan kerap menamparku agar aku tahu diri serta membuang jauh jauh egoku. Berpamitan kepada Anin, lantas aku buru – buru lari menuju pasar dekat sekolah untuk bekerja. Kulepas seragamku dan menyisakan kaos partai usang milik bapak yang selalu kupakai. Aku mulai berjalan menyusuri pasar, mengerjakan apapun yang orang suruh asal mendapat upah. Mulai dari menjadi kuli panggul, menjaga dagangan, hingga menjajakan jajanan orang lain. Malu rasanya jika kadang aku berpapasan dengan teman sekolahku, namun aku harus bermuka tebal demi kelangsungan hidupku dan keluargaku. Bahkan tak jarang ‘temanku’ menjadikanku bahan candaan di sekolah, memanggilku dengan sebutan ‘Kecoa pasar’. Demi Tuhan, aku menahan malu mati – matian.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku tak bisa pulang begitu saja sementara penghasilan hari ini belum melampaui targetku. Aku terduduk lemas, jika penghasilanku kurang hari ini bisa bisa adikku tak bisa melanjutkan sekolah, aku tak mau nasib adikku sama sepertiku. Saat aku hampir menyerah, seseorang datang menghampiriku. “Nak, bisa bantu angkat semua keranjang sayuran itu ke mobil box disana? Tolong ya? Kuli panggul disini hanya sisa kamu saja, saya gak mampu angkat semuanya sendiri. Upahnya nanti dua kali lipat deh.” Rejeki memang tak kemana. Aku langsung sigap berdiri. Ah, tapi apa ini? Kenapa kepalaku terasa berat? Mungkin perasaanku saja. “Mobil boxnya di sebelah mana mbah?” Tanyaku semangat sambil mengikuti orang tersebut. Tak disangka, sayuran yang harus dipindahkan terlampau banyak. Terhitung 20 keranjang banyaknya, aku sampai menganga melihatnya. Aku sedikit pesimis jika harus mengangkat semuanya sendiri, namun bagaimanapun harus tetap kulakukan. Hingga sampai pada keranjang ke-19, pandanganku mulai kabur, kakiku lemas, tubuhku bermandikan peluh yang tak hentinya mengucur deras. Aku mengambil napas sejenak, "Semua akan baik-baik saja." Aku bilang. Dan meski tidak baik-baik saja, aku harus meyakinkan diriku bahwa semua akan baik - baik saja. Setidaknya aku meyakini semua itu, menjadi satu satunya kekuatanku yang tersisa. Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku terduduk lemas. Benar – benar kehabisan tenaga, bahkan aku tak yakin masih punya kekuatan untuk pulang ke rumah. Aku menerima upahku dan beristirahat sebentar, setelahnya kuputuskan untuk pulang, takut takut ibu menungguku khawatir.

Aku menangis di jalan pulang. Lelah, sakit, semua beban bercampur, berkecamuk di dalam kepalaku. Aku harusnya kuat dan aku dituntut untuk selalu kuat demi ibuku, demi adik adikku. Lalu bagaimana denganku? Selama ini aku selalu memberikan semuanya, peluh dan tangis semua jadi saksi sulitnya menjadi aku. Aku selalu ingin lari, pergi jauh. Tapi, pada akhirnya aku selalu berakhir pulang ke rumah. Pun saat ini, aku telah sampai di depan pintu, namun tak punya keberanian untuk masuk. Di tengah kebimbanganku, ibu membukakan pintu untukku. “Baru pulang nak?” katanya. Aku memeluk ibu menahan tangisku, bagaimanapun aku harus selalu terlihat kuat. Aku merasa bersalah sempat berpikir untuk meninggalkan ibu dan adik adikku, aku merasa seperti seorang pengecut hanya dengan memikirkannya saja. Ibu mengelus pelan kepalaku, “Pasti lelah ya nak? Sulung, kamu boleh menangis. Kamu juga boleh runtuh, biar nanti ibu rengkuh.” Ucap ibu dengan suara lembut. Tangisku pecah, pertahananku runtuh seketika. Masa bodoh terlihat kuat. Di mata ibu, aku hanyalah putra kecilnya, dan selalu seperti itu. “Memang banyak harapan yang disematkan di pundakmu saat ini nak, namun jangan lupa beri waktu. Untuk diam di tempat, untuk melihat ke belakang, untuk menarik nafas sebelum maju lagi.” Ibu mengusap punggungku penuh kasih sayang, “Sulung, kamu pasti bisa menghadapi semuanya. Ibu ada disini, setiap saat bisa peluk kamu kalau kamu lelah sama dunia.” Saat itu dini hari, dan saat itu pula aku tak bisa memakai topeng di depan ibuku lagi.

Esoknya aku kembali menjalani rutinitasku seperti biasa, menjalani kehidupan tahun akhir sekolah dan tetap bekerja serabutan hingga larut malam. Setahun berlalu dan akhirnya aku mampu melewati semua masa sulit itu. Aku berhasil lulus dengan nilai memuaskan dan kini aku bekerja di tempat yang lebih layak. Namun, tugasku belum selesai. Aku masih harus menyekolahkan kedua adikku dan membahagiakan ibu. Pada akhirnya, aku tak lagi merasa sendirian. Tanpa ku sadari, selalu ada ibu di belakangku yang menopang agar aku tak jatuh. Menjadi sulung memang tak mudah, tapi aku yakin kalian semua juga pasti bisa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen - 52 Hertz

Cerpen - Terbang Menuju Keabadian