Cerpen - Mengabur Bersama Senja

 Mengabur Bersama Senja

Alhayu


TW : homosek, angst

Di sebuah kota pesisir pantai, dua sahabat masa kecil, Adnan dan Natan, tumbuh bersama. Mereka berbagi tawa, cerita, dan mimpi. Kemanapun mereka pergi, mereka selalu bersama seakan tak ada batasan yang memisahkan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan yang awalnya mereka kira hanya sekadar persahabatan mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Adnan, yang lahir dari keluarga agamis taat, merasakan tekanan yang kuat untuk menaati norma-norma masyarakat. Sementara Natan, dengan masa lalu kelamnya, menggantungkan harapan dan cinta dalam pelukan sahabatnya. Keduanya saling mencintai, namun perasaan itu terhambat oleh tekanan yang datang dari lingkungan sekitar. Adnan terjebak antara cinta dan kewajiban, terbelenggu oleh harapan keluarganya untuk segera menikah dengan perempuan pilihan mereka.

Malam itu adalah malam perayaan sekian tahun hubungan spesial mereka, Adnan dan Natan sepakat bertemu di sebuah restoran tepi pantai yang sering mereka kunjungi sejak kecil. Mereka berbincang, sesekali saling melempar candaan, menghangatkan udara malam yang semakin dingin. Di usia mereka yang menginjak 30 tahun tentu banyak hal yang meresahkan bagi mereka. Selama mereka memiliki satu sama lain, mereka akan baik – baik saja, setidaknya begitu pikir Natan. Namun, gelagat Adnan yang tak biasa sedari tadi mengganggu pikiran Natan, ada apa dengan kekasihnya itu malam ini?

“Nan? Haloo? Kamu mikirin apa sih? Aku di sini loh, di depan kamu. Kamu ga mikirin orang lain kan?” celoteh Natan dengan wajah sebalnya sembari melipat tangan di depan dada, menunjukkan gelagat marah.

“Eh? Nggak lah! Mana mungkin ada orang lain di pikiranku selain kamu, Natan.”  bualnya, berusaha membujuk Natan yang nampak semakin merengut “menggemaskan” pikirnya.

Namun semua itu bohong. Sejujurnya Adnan berusaha menutupi perasaannya, berpura-pura baik-baik saja di depan Natan. Tetapi semakin hari, rasa bimbangnya kian mendalam. Ketakutan akan stigma sosial membuatnya menarik diri. Natan, yang merasakan ada sesuatu yang berubah dalam sikap Adnan, mau tak mau tetap menaruh curiga.

Malam spesial pun diakhiri dengan Adnan dan Natan yang masing – masing memiliki hal yang mengganjal pikiran mereka. Tetapi Natan tak ingin merusak momen spesial mereka dan membiarkannya lewat begitu saja, mengingat Natan yang merupakan seorang overthinker, hal ini sudah biasa baginya. Toh, Natan percaya Adnan tak akan pernah mengkhianatinya. Sekalipun tak akan.

            Sudah berhari – hari berlalu sejak malam itu dan Adnan masih terjebak di tempat yang sama, kebimbangan akan hubungannya dengan Natan. Ia sangat mencintai Natan dan tak ingin mengakhiri hubungannya, namun lagi – lagi asumsi orang lain dan tekanan keluarganya mengacaukan itu semua. Seakan Adnan sedang berada di ujung jurang. Di satu sisi ada pikiran untuk kabur bersama Natan dan mengejar impiannya. Namun, di sisi lain, ada rasa takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi. Sementara waktu pun terus berlalu, tak mungkin selamanya Adnan terjebak di sini. Ia harus segera memutuskan, mengikuti jalan yang sudah dibangun orang tuanya atau membuat jalan lain bersama Natan?

Sore itu Adnan mengajak Natan bertemu di dermaga. Dengan matahari senja yang sinarnya menciptakan gradasi warna yang indah, dari oranye cerah ke merah tua, kemudian memudar menjadi ungu lembut yang tenang, suasana yang seakan mengundang kenangan indah mereka. Adnan mematung, melihat punggung Natan yang tengah berdiri termenung menatap lautan nan jauh, serta deburan ombak yang menciptakan sebuah harmoni indah. Rambut indahnya tertiup angin yang berbisik lembut, kata – kata muncul dari benaknya “pemandangan yang sungguh indah”. Dalam pandangan itu, Adnan merasakan perasaan campur aduk; ia mencintai Natan, namun di sisi lain, ia juga tak bisa menyangkal bahwa ia merasa terjebak.

“Natan,” panggilnya sambil mendekat. Natan menoleh, senyum menggemaskan mengembang di wajahnya saat melihat Adnan.

Adnan memeluk Natan erat, berharap dalam pelukan itu ada ketenangan yang bisa meredakan kegelisahan hatinya. Namun, ketenangan semu itu lenyap saat Adnan mengucapkan hal yang sangat tidak Natan harapkan akan keluar dari mulut orang yang dicintainya,

“Natan, aku berharap kamu seorang wanita,” dunianya seakan berhenti berputar.

Natan tersentak, hatinya terasa remuk. Dengan penuh emosi, ia mendorong tubuh Adnan mundur, mata mereka bertemu dalam hening yang mengguncang.

“K-kamu bilang apa, Adnan? Kenapa kamu-” tergagap, Natan berusaha mencerna semua yang telah terjadi. Natan menunduk, bahkan tak sanggup baginya menatap Adnan lagi.

Adnan berusaha menjelaskan, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah terhalang oleh ketakutan yang mendalam. “Natan, kamu tau aku gak maksud-“

Natan yang kecewa tak ingin mendengar alasan apapun dari Adnan. Natan mengerti,  Adnan yang dulu ia kenal sudah berubah. Orang yang ia pikir akan mencintai Natan apapun keadannya, sudah tiada.

“Gak apa – apa, Nan. Aku ngerti.” Ia mengumpulkan keberanian untuk menatap Adnan kembali, ia tersenyum kemdian mulai berjalan menjauh. Hati getir Natan menghentikan langkahnya. Seakan belum selesai, ia berbalik dan mengatakan, “Aku harap dari awal kita gak pernah ketemu, Nan.”

Dalam momen penuh emosi itu, Adnan merasa hancur. Ia mencintai Natan, tetapi tekanan dari keluarganya terlalu berat. Dengan hati yang kacau, ia memutuskan untuk menjauh, melindungi Natan dari masalah yang lebih besar. Sama halnya dengan Natan, Adnan pun berjalan menjauh, tak berani menoleh. Di dermaga sore itu, mereka berdua terpisah jalan. 

Natan yang berjalan berlawan arah mulai menyesali pilihannya dan menoleh sekali lagi, mencoba meraih punggung Adnan yang perlahan menjauh. “Adnan!” teriaknya, namun suara penuh keputusasaan itu hanyalah bisikan angin yang tak tertangkap oleh telinga Adnan. Dengan wajah yang penuh dengan air mata, Natan meratapi cinta dan harapannya yang perlahan mengabur bersama senja.

Dalam keheningan, Natan merasakan kehampaan dan kehilangan yang mendalam, sementara Adnan merasakan penyesalan yang tak terbayarkan. Mereka berdua hancur karena harus menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka tak akan bisa diterima di manapun, dan oleh siapapun.

Tepat sebulan setelah pertemuan yang menyakitkan itu, Natan menerima sebuah undangan pernikahan. Hati yang susah payah ia satukan puingnya, kembali hancur sesaat ketika membaca nama calon pengantin yang tertera. “Bangsat!” Ia melempar undangan itu ke tempat sampah, seolah membuang semua kenangan indah yang pernah mereka miliki.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerpen - 52 Hertz

Cerpen - Terbang Menuju Keabadian

Cerpen - Sulung