Cerpen - Mata Teduh Akung
Mata Teduh Akung
Tak mudah mendapat pengakuan dari orang tuaku yang
membenci seni. Jungkir balik aku mengemis perhatian mereka, namun tetap saja respon
mereka, “Untuk apa? Memang hal itu bisa buat kamu sukses? Jangan buang – buang
waktumu buat sesuatu yang gak berguna!” dan selalu begitu. Aku hanya bisa
mendengus kesal setiap mendengar ocehan bunda. Sebagai anak memang wajib untuk menuruti
kemauan orang tua. Jika tidak, maka akan dicap sebagai pembangkang. Stereotip
itulah yang selama ini ku telan mentah – mentah, walau sangat muak rasanya.
Aku Melyn, panggil aku Lyn. Aku dibesarkan oleh
tata krama, pandangan sosial, dan derajat yang orang dewasa anggap tinggi. Dan
semua itu tentu diiringi dengan tekanan dan ambisi tak berdasar yang selalu
dibebankan padaku. Aku tak pernah merasa orang tuaku benar – benar menyayangiku,
mereka hanya menganggapku berharga jika aku memiliki suatu pencapaian, selain
itu di mata mereka aku hanyalah seonggok daging tak berguna. Tapi setidaknya
aku tak sendiri, aku masih punya akung yang sangat menyayangiku. Akung yang
selalu menghargai semua karyaku, selalu memanggilku ‘cah ayu’ dengan mata teduh
dan suara lembut penuh kasih sayangnya.
Pagi itu ku mulai dengan raut muka masamku. Dengan
gusar aku menggeledah seluruh isi kamar berharap menemukan kamera kesayanganku.
Aku masih ingat betul aku menyimpannya di laci tadi malam. Saat aku masih sibuk
mengobrak abrik lemari, bunda masuk ke kamarku. “Cari ini?” ucapnya sambil
memegang sebuah kamera. Aku terbelalak, bergegas menghampiri bunda untuk
merebut kembali kameraku dari genggamannya “Balikin bun, kenapa bunda lancang
banget sih main ambil barangku sembarangan!” seruku kesal. Namun bunda tak
semudah itu memberikannya padaku, sedetik kemudian bunda membanting kamera
kesayanganku itu ke lantai dengan sekuat tenaga hingga puingnya tercerai berai.
“BUNDA, KENAPA SIH?!” aku berteriak marah. Pasalnya kamera itu pemberian terakhir
dari eyang putri, tapi bunda semudah itu menghancurkannya. “Sengaja. Bunda
ngelakuin ini juga demi kamu Melyn, nilaimu anjlok kan semester ini? Karena apa?
Karena kamu terlalu sibuk potrat – potret gak jelas sama kamera usangmu itu!” setelah
mengucapkan kalimat menyakitkan itu, bunda melenggang keluar seolah tak pernah
sekalipun memikirkan perasaanku. Demi Tuhan aku kesal setengah mati. Aku
menahan air mataku mati – matian, napasku naik turun menunjukkan betapa
inginnya aku meledakkan emosiku saat ini. Tidak sekali dua kali bunda bersikap kekanakan
seperti ini, aku sungguh lelah menghadapinya.
Aku tak bisa fokus dengan penjelasan guru di
hadapanku. Pikiranku masih terbang, terbayang betapa malangnya kamera
kesayanganku yang kini hanya tinggal puingnya saja. Bahkan tukang servis pun
tak akan menolong rupanya, maafkan Melyn ya eyang putri, tak bisa menjaga
kamera peninggalanmu. Raut muka masamku rupanya menimbulkan kekhawatiran dari
teman sebangku sekaligus sahabatku, Ranti. “Diapain lagi sama bundamu, Lyn?
Ditekuk mulu tuh muka perasaan.” Celetuknya sambil menulis rumus memusingkan
yang memenuhi papan tulis di hadapannya. “Kamera dari eyang putri, dibanting.
Pusing aku Ran, padahal sebentar lagi kan ada pameran fotografi.” Jawabku
frustasi. “Tega banget. Kalau kamu butuh kamera, aku ada sih, tapi kamera hp
hehehe” Ucap Ranti sambil menyengir lebar, berusaha menghiburku. Aku tersenyum
kecil, mencoba kembali fokus pada penjelasan memusingkan oleh guru di depan.
Tak terasa bel pulang sekolah telah berdering,
yang selalu disambut girang oleh banyak orang, termasuk aku. Setelah pulang
sekolah aku berencana untuk membongkar tabunganku untuk membeli kamera baru.
Aku sendiri pun tidak yakin akan cukup, namun apa salahnya mencoba kan? Aku
berjalan melalui gerbang sekolah dengan Ranti di sebelahku, sesekali bergurau melepas
penat setelah otak kami diperas habis – habisan oleh guru matematika tadi
siang. Dari kejauhan mataku menangkap seseorang yang sangat familiar, itu Akung!
Aku berpamitan kepada Ranti dan berlari menghampiri akung. “Akung kok gak
bilang mau jemput Melyn? Akung kesini naik apa?” Akung tersenyum simpul,
menggemaskan baginya melihat cucu semata wayangnya itu memberondongnya dengan
banyak pertanyaan sekaligus. “Akung diantar supir, tapi kita pulang naik
angkutan umum saja ya? Akung ingin bawa kamu ke suatu tempat.” Mendengar itu
mataku berbinar, sudah sangat lama aku tidak jalan jalan dengan akung. Setelahnya
aku berjalan riang dengan digandeng akung layaknya seorang bocah. Aku sangat
senang, hanya dengan melihat akung aku dapat melupakan semua hal yang terjadi
tadi pagi.
Sudah satu jam aku dan akung panas panasan di
dalam angkutan umum. Aku mendesah sebal, sebenarnya kemana akung ingin
membawaku. Sepuluh menit berlalu, angkutan umum yang membawa kami akhirnya berhenti
di suatu pasar lama, akung mengajakku bergegas turun. “Akung, ini tempat apa?”
Aku melihat sekeliling keheranan, pasalnya aku tak pernah sekalipun kesini,
bahkan aku tak tau ada tempat semacam ini. “Sudah, ayo ikut saja. Kamu pasti
suka.” Ucapnya. Akung berjalan menggandengku. Kami cukup lama menyusuri pasar,
hingga akung berhenti di depan suatu toko barang antik. Seorang pria seumuran
akung keluar menemui kami, “Candra! Sudah lama sekali, apa kabarmu e?!” Pria
tersebut menyapa akung dengan logat timurnya yang khas, memeluk akung akrab seolah
sudah terpisah puluhan dekade. “Kabar baik Gala. Oh iya aku kesini untuk ambil
barang yang ku titipkan padamu waktu itu, masih ada?” Pria di hadapan akung tersebut
mengernyitkan dahi, berusaha mengingat sesuatu. Hingga ia nampak mengingatnya
lalu bergegas mengambil sesuatu di belakang, cukup lama. Aku yang merasa bosan
mulai melihat – lihat sekeliling toko, cukup unik pikirku. Barang yang dipajang
bermacam – macam, mulai barang antik hingga kurasa ada juga yang sedikit berbau
mistis, hingga merinding aku dibuatnya. Akung Gala – aku memanggilnya begitu –
akhirnya keluar dan menemui kami dengan membawa sebuah, kamera?! Aku terkejut,
pasalnya itu nampak seperti sebuah kamera analog yang cukup mahal untukku. “Ini
Candra! Sa tra pernah merawatnya, tapi terlihat masih bagus toh!” Akung tersenyum
menerima kamera tersebut. “Terima kasih ya Gala, sayangnya aku tak bisa lama –
lama.” Akung Gala nampak kecewa, dipeluknya lah akung sekali lagi. “Sering seringlah
main kesini, ini sa punya toko selalu terbuka untuk ko Candra.” Akung
mengangguk lantas berpamitan, beranjak dari toko antik akung Gala. Aku yang
masih kebingungan dengan situasi itu, tersenyum pada akung Gala dan bergegas
menyusul akung yang sudah berjalan lebih dulu.
Akung terus berjalan tanpa mengucapkan sepatah
kata pun hingga kami tiba di sebuah danau. Akung duduk di bangku kayu, tepat
menghadap danau. Danau itu tampak indah, nuansa jingga
keemasan berpadu dengan merah muda lembut, menciptakan cermin keindahan di
permukaan air yang tenang. Setiap gelombang kecil menciptakan riak yang
memantulkan cahaya, seolah danau itu sedang berbincang dengan langit. Aku terkagum, lantas duduk di samping akung yang menikmati hembusan angin
senja, seolah sedang dibelai dengan lembutnya. “Cah ayu, ini untukmu. Kali ini
jaga baik – baik ya.” Akung memecah keheningan, ia memberiku kamera yang sedari
tadi ia genggam erat. Aku menerima kamera itu dengan berkaca – kaca, bagaimana
akung bisa tau? “Akung tau kamu sangat menyukai fotografi, cah ayu. Kamu mengingatkan
akung dengan eyang putrimu.” Akung tersenyum, menatap
ke arah danau dengan mata berbinar. Mengenang kenangan yang terpatri di hati,
mengingatkan pada cinta dan kebersamaan yang tak ternilai. “Melyn mau ikut pameran toh? Kamu pasti bisa, cah ayu. Akung selalu mendukung
apapun yang membuat kamu bahagia. Jangan pernah merasa sendiri ya? Kan cah ayu
masih punya akung!” Sekujur tubuhku gemetar, tak mampu menahan perasaan membuncah
yang sedari tadi menghantam dada. Air mata mengalir deras di pipiku, segala perasaan
rumit itu tak mampu ku bendung lagi. Ku peluk akung dengan eratnya, seolah tak
ingin ku lepas untuk selamanya. “Terima kasih banyak, kung. Disaat ayah dan
bunda mati – matian menentang Melyn untuk berkarya, tapi akung selalu mendukung
Melyn. Melyn sayang sekali sama akung, akung jangan pernah tinggalin Melyn ya?”
Akung lagi – lagi hanya tersenyum, mengelus lantas mengecup kepalaku dengan
sayang. Sore itu adalah senja terindah yang pernah kulihat. Ku abadikan akungku
yang tengah duduk menghadap danau dengan kamera yang ku genggam erat. Akung
duduk dengan damai, membiarkan angin lembut membelai wajahnya. Senyum di wajahnya melankolis, mata teduhnya dipenuhi
kerinduan. Di sinilah, di tepi danau kala senja, akung menemukan keabadian dalam kenangan.
Sepekan setelahnya tepat saat hari aku mengikuti
pameran fotografi, akung meninggalkanku untuk selamanya. Duniaku seolah hancur
dan kehilangan warnanya. Aku merasa seolah ada bagian
dari diriku yang hilang, seakan kehilangan bukan hanya seorang akung, tapi
sahabat,
juga pemandu
hidup. Ku persembahkan foto terakhir akung sebagai
karya pameranku. Aku berharap akung melihat keindahan foto itu. Air mata mengalir deras di pipiku saat melihatnya. Sosok yang selalu ada untukku, yang mengajariku tentang cinta
dan kehidupan. Mata teduh dan
senyum hangatnya yang tak akan pernah ku lupakan. Kini,
kekosongan itu terasa begitu dalam. Seolah setiap tawa dan cerita yang pernah kami bagi kini terbang
melayang bersama angin, meninggalkan jejak kenangan yang abadi di dalam hati.
Komentar
Posting Komentar