Cerpen - 52 Hertz
52-Hertz :
Sebuah Perjalanan Menemukan Suara
Menjadi berbeda bukanlah suatu keanehan. Layaknya paus
yang berbicara melalui frekuensi, manusia pun memiliki caranya sendiri.
Meskipun frekuensi mereka tak sama, namun setiap
individu, apakah itu paus, manusia, atau makhluk lainnya, memiliki caranya sendiri untuk
berkomunikasi dan untuk ada di dunia ini. Jika kita mau membuka mata dan melihat lebih dalam, kita
akan menyadari bahwa perbedaan bukanlah suatu keanehan—justru, perbedaan adalah
bagian dari kekayaan dunia yang membentuk keragaman dan memberikan makna pada
kehidupan.
Kisah ini bermula dari Gama, seorang remaja
yang selalu merasa asing di tengah keramaian. Hari-harinya ia lewati tanpa
banyak interaksi, hanya sebatas apa yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban di
sekolah. Orang-orang sering menganggap Gama aneh—pendiam, canggung, dan tak jarang orang memanggilnya psycho. Gama layaknya
paus 52-hertz, paus paling kesepian di dunia. Meskipun ia berada di kelas yang
penuh dengan teman-teman, hatinya tetap kesepian, karena ia merasa suaranya tak
pernah bisa disamakan dengan mereka. Namun, di balik
sikapnya yang tertutup, ada banyak hal yang tak terlihat oleh mata orang lain.
Siang itu, dengan kaki yang gemetar Gama berjalan
menuju meja teman sekelasnya. Kepercayaan dirinya benar – benar nol besar!
Memang setiap ada tugas, sering kali Gama terpaksa harus bekerja sendiri. Namun,
tugas kali ini akhirnya menuntutnya untuk bergabung
dengan suatu kelompok. Pada
awalnya ia merasa sedikit lega, namun dengan cepat
merasa terpojok begitu ia menyadari, ia tidak bisa mengimbangi energi mereka. Setiap kali Gama mencoba untuk ikut
bergabung dalam percakapan, rasanya seolah ada jarak yang tak bisa dijembatani.
Gama hanya duduk di pojok, berusaha menyelesaikan
bagian tugas yang diberikan
padanya tanpa banyak berinteraksi. Ia merasa setiap kata yang keluar dari mulutnya
terhambat oleh keraguan. Perasaan takut dan tidak
nyaman semakin menghimpitnya, seakan seluruh dunia di sekitarnya terlalu besar
dan mengintimidasi.
Tak seperti remaja pada umumnya, waktu pulang
sekolah adalah waktu yang sangat dibenci oleh Gama. Gama berjalan pulang dengan
hati penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa sebab, karena setiap Gama
pulang, ia akan disambut oleh ayahnya yang seorang pemabuk. Bahkan saat Gama
tengah berdiri di ambang pintu, bau alkohol yang menyengat memenuhi indra
penciuman Gama. Sungguh, ia tak akan pernah merasa terbiasa dengan semua ini. Hari
itu pun Gama tak luput menjadi sasaran kemarahan ayahnya.
BUGH! “Dasar anak gak tahu diuntung! Bukannya
kerja, cari duit buat ayahnya malah sekolah gak jelas. Mati aja sana!”
Begitulah ia mendapat lebam dan memar yang
meradang di sekujur tubuhnya. Semua orang tak ada yang tahu, kecuali dirinya
sendiri, bagaimana rasanya hidup di bawah bayang-bayang kekerasan fisik dan
emosional yang selalu datang menghampiri. Setiap
pukulan dan kata kasar yang terlontar, perlahan membuat Gama semakin tertutup. Baginya, tak ada tempat yang aman di dunia
ini. Gama belajar untuk tidak berbicara, untuk tidak
mengungkapkan perasaannya—ia takut jika kata-katanya justru akan memperburuk keadaan.
Malam semakin larut, Gama yang berhasil melarikan
diri dari rumah bak neraka itu terduduk diam di dermaga. Wah, menakjubkan, kali
ini ia mendapat sebuah luka baru, goresan kecil dengan sedikit darah segar di
pelipis dahinya. Gama menghela napas berat, menatap lamat-lamat bayangan bulan yang terpantul di permukaan air. Seakan mengingatkan bahwa dalam kesunyian, ada
kedamaian yang lebih dalam,
seolah-olah dunia berhenti sejenak.
Gama menunduk, “Mau sampai kapan aku terus lari
kaya gini?” Kekehan kecil terdengar samar. Seolah ia sedang mengolok nasibnya
sendiri, menertawakan betapa pengecutnya dirinya.
”Bun, Gama kangen bunda. Harusnya bunda bawa Gama aja,
Gama pengen pergi dari sini.” Gama memeluk erat gitar peninggalan bunda, seolah
tak ingin lepas dari harta satu-satunya itu.
Setelah keheningan yang cukup lama, Gama mulai memetik senar gitarnya, menghasilkan suara yang lembut dengan harmoni yang sangat sopan mengalir
di telinga. Namun alunan indah itu terhenti seketika saat Gama terkejut dengan
kehadiran orang yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Saat ia perhatikan
wajahnya, itu Kai! teman sekelasnya. Berbanding terbalik dengan Gama, Kai adalah tipe orang yang ceria, penuh semangat, dan sering kali
menjadi pusat perhatian.
Kenapa pula selebriti sekolah ini ada di sini?
“Kamu bisa main gitar?” tanya Kai dengan antusias, memecah lamunan acak Gama.
Gama hanya mengangguk pelan, sedikit tersipu. Tidak banyak orang
yang tahu tentang hobi Gama bermain gitar. Itu adalah satu-satunya cara Gama mengungkapkan
apa yang tak bisa diucapkannya dengan kata-kata.
“Aku nggak tahu loh
ternyata kamu jago banget main gitar!” puji Kai dengan mata
berbinar. “Kapan-kapan ajarin aku dong!” Gama hanya tersenyum kecil, merasa
sedikit canggung.
Tetapi ada sesuatu dalam tatapan Kai yang membuatnya merasa nyaman. Kai tidak
menghakimi. Kai tidak menuntutnya untuk berbicara lebih banyak atau menjadi
seseorang yang bukan dirinya. Malam itu mereka
habiskan bersama di tepi dermaga. Seiring dengan angin
yang berhembus pelan, seolah membawa mereka jauh ke dalam dunia yang lebih luas, penuh keindahan
yang tak terucapkan. Gama mengiringi suasana itu dengan harmoni yang halus, seiring dengan irama yang melambat, mengalun, membaur bersama angin.
Hari-hari berikutnya, Kai mulai membuntuti Gama. Entah bagaimana,
Kai seakan tertarik dengan Gama yang selalu tampak sendirian. Mereka mulai
menghabiskan waktu bersama di kelas. Seperti saat ini,
“Ah, main gitar susah banget ternyata! Kamu aja
lah yang mainin.” Kai menyodorkan gitarnya ke arah Gama. Sang pemilik hanya
tertawa kecil menanggapinya.
Begitulah interaksi keduanya, Kai tidak pernah memaksa Gama untuk berbicara lebih dari yang ia
inginkan. Mereka lebih sering diam bersama, mereka hanya berbicara
jika perlu, dan sisanya mereka habiskan bersama dalam keheningan yang membuat Gama merasa aman.
Kai pun mulai menyadari bahwa Gama bukanlah orang yang pemurung
seperti yang banyak orang pikirkan. Melalui petikan gitar Gama, Kai mulai
mengenal Gama lebih dalam. Setiap kali Gama memainkan gitar, Kai merasakan seakan
Gama sedang berbicara tanpa suara—menyampaikan perasaan yang selama ini
terkubur dalam diamnya. Melodi yang keluar dari gitar itu terasa seperti
jendela menuju jiwa Gama yang tersembunyi, yang perlahan mulai terbuka,
meskipun bukan dengan kata-kata.
“Aku seneng kamu jadi lebih terbuka, Gama.” Kai
tersenyum sembari sedikit mengacak rambut sang lawan bicara.
Gama terdiam sejenak, “Semua karena kamu Kai,
terima kasih ya. Akhirnya aku punya tempat buat pulang.” Sebuah senyuman
merekah dari sudut bibirnya, perasaan bahagia membuncah dari dalam dadanya.
Kai tertawa geli, “Jangan terima kasih sama aku! Kamu
harusnya bilang terima kasih ke dirimu sendiri. Terima kasih udah lewatin
hal-hal terberat sampai detik ini. Kamu hebat, Gama.”
Akhirnya, Gama menemukan suaranya. Dengan gitar di tangannya, ia merasa
lebih percaya diri dan berani. Ketika ia memainkan senar gitar, seakan suara hatinya ikut
terungkap, mengalir melalui setiap petikan. Dalam diamnya, Gama tidak merasa
kesepian lagi. Ia merasa ada seseorang yang akhirnya bisa mendengarkannya, bahkan tanpa
perlu berbicara. Kai, yang selalu setia di sampingnya, akhirnya menjadi teman
sejati yang bisa memahami Gama lebih dari siapapun. Melalui Kai, Gama
menemukan 'suaranya'—bukan dalam kata-kata, melainkan dalam melodi yang
mengalir dari petikan gitarnya.
Seiring waktu, Gama mulai menerima dirinya. Di dunia yang kadang
tampak terlalu keras, ia menemukan tempat di mana ia bisa merasa aman,
dihargai, dan dipahami. Layaknya paus 52-hertz, yang meski
kesepian namun terus melanjutkan perjalanan hidupnya di laut luas, Gama pun
pada akhirnya menemukan jalan menuju pemahaman dirinya. Mungkin tidak semua
orang akan mengerti, namun Gama menyadari bahwa ia tak perlu menjadi seperti
orang lain untuk merasa diterima. Keunikan dan suara yang berbeda justru bisa
menjadi kekuatan, bukan kekurangan.
WOW, cerita yang benar-benar menarik! dari cara gama yang lepas dari masa-masa 'kegelapan' nya yang diawal dia sangat pendiam bahkan canggung dengan teman sekelasnya sendiri, seperti yang tercantum di atas, tak jarang gama di panggil dengan sebutan 'psycho'. lalu datang kai, atau bisa kita sebut 'cahaya' bagi gama hahaha, karna dialah yang bisa menarik gama dari 'kegelapan' nya tersebut, gama menjadi lebih terbuka, lebih percaya diri dan lebih berani tentunya. HAHAHA KEREN! kamu punya bakat di bidang tulis menulis, teruskan! semangattt!!
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya, aku sangat menghargai setiap komentar baikmu!
HapusJangan lupa untuk baca karya - karyaku lainnya yaa>_<